Rabu, 07 November 2012

Pengertian hukum Wakaf

Pengertian Wakaf

Wakaf, dalam bahasa arab berarti habs (menahan) artinya menahan harta yang memberikan manfaatnya dijalan Allah. Dari pengertian itu kemudian dibuatlah rumusan pengertian wakaf menurut istilah, yaitu “perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam” (Kompilasi Hukum Islam, Buku III, Bab I, Pasal 215).
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas.  Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:
Adapun dalil-dalil sebagai anjuran melakukan wakaf antara lain adalah:
1.    Firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 92:
2.    (Q.S. al-Baqarah (2): 267)
3.    (Q.S. al-Baqarah (2): 261)
“Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.

4.    Hadits riwayat Muslim dari Ibnu ‘Umar ra:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّى أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِى مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِى بِهِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا ». قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُبْتَاعُ وَلاَ يُورَثُ وَلاَ يُوهَبُ. قَالَ فَتَصَدَّقَ عُمَرُ فِى الْفُقَرَاءِ وَفِى الْقُرْبَى وَفِى الرِّقَابِ وَفِى سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, dia berkata: Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu dia datang kepada Nabi saw untuk meminta pertimbangan tentang tanah itu, kemudian ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhya aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, dimana aku tidak mendapatkan harta yang lebih berharga bagiku selain dari padanya; maka apakah yang hendak engkau perintahkan  kepadaku sehubungan dengannya? Rasulullah saw berkata kepada Umar: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya. Lalu Umar pun menyedekahkan manfaat tanah itu dengan syarat tanah itu tidak akan dijual, tidak akan dihibahkan dan tidak akan diwariskan. Tanah itu dia wakafkan kepada orang-orang fakir kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil, dan tamu, dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusnya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf dan memakannya tanpa menganggap bahwa tanah itu miliknya sendiri.” [HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 13-14]
5.    Hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا مَات الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ ». [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amalannya kecuali tiga, yaitu: Sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendo’akan kepadanya.” [HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 14]
Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut:
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).

Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah
Dalil Ijma'
Imam Al-Qurthuby berkata: Sesungguhnya permasalahan wakaf adalah ijma (sudah disepakati) diantara para sahabat Nabi; yang demikian karena Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah, Amr ibn Al-Ash, Ibnu Zubair, dan Jabir, seluruhnya mengamalkan syariat wakaf, dan wakaf-wakaf mereka, baik di Makkah maupun Madinah, sudah dikenal masyhur oleh khalayak ramai. (Lihat: Tafsir Al-Qurthuby: 6/339, Al-Mustadrah 4/200, Sunan Al-Daraquthny 4/200, Sunan Al-Baihaqy 6/160, Al-Muhalla 9/180).

Jabir berkata: Tiada seorangpun dari sahabat Nabi yang memiliki kemampuan dan kelapangan rizqi, kecuali pasti pernah mewakafkannya. (Lihat: Al-Mughni 8/185, Al-Zarkasyi 4/26
Ibnu Hubairah berkata: Mereka sepakat atas dibolehkannya wakaf. (Lihat: Al-Ifshah 2/52).
Imam Syafii berkata: Telah sampai riwayat kepadaku bahwa ada 80 orang sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang mengeluarkan shadaqah dengan shadaqah mulia. Imam Syafii menyebut wakaf dengan nama shadaqah mulia.
Imam Tirmidzi menyatakan: Wakaf telah diamalkan oleh para ulama, baik dari kalangan sahabat Nabi maupun yang lainnya, saya tidak melihat ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mutaqaddimin tentang bolehnya wakaf, baik wakaf tanah maupun wakaf yang lainnya.” (Lihat: Sunan Tirmidzi 5/13 setelah hadits no. 1375).
Imam Al-Baghawy berkata: Wakaf telah diamalkan oleh seluruh ulama, baik dari generasi sahabat, maupun orang setelah mereka, seperti ulama mutaqaddimin; mereka tidak berselisih pandangan tentang bolehnya wakaf tanah maupun wakaf harta-barang bergerak; para sahabat Muhajirin dan Anshar melakukan wakaf, baik di Madinah maupun di daerah lainnya; tidak ada riwayat satupun dari mereka yang mengingkari adanya syariat wakaf; bahkan tidak pernah ada dari mereka yang mencabut kembali wakafnya dengan alasan dirinya masih membutuhkannya.” (Lihat: Syarh Al-Sunnah 8/288).


Imam Ibn Hazm berkata: Seluruh sahabat Nabi, shadaqah-shadaqah mereka di kota Madinah lebih masyhur/terkenal daripada matahari, tidak ada seorang pun yang tidak mengetahuinya.” (Lihat: Al-Muhalla 9/180). (Sumber: Al-Auqaf fii Al-Ashr Al-Hadits, Kaifa Nuwajihuha lidda’mil Jami’at wa tanmiati mawaridiha
Dr. Khalid ibn Ali ibn Muhammad Al-Musyaiqih)

Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits:
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Pengertian Hibah
Hibah berasal dari bahasa Arab yang berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan orang yang diberi. Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup. Di dalam Kompilasi Hukum Islam Buku II Bab I Pasal 171 butir g disebutkan Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Hibah dituntunkan oleh Allah swt, karena hibah dapat menciptakan kerukunan dan mempererat rasa kasih sayang antar umat manusia. Anjuran untuk melakukannya antara lain:
1.    Hadis riwayat al-Baihaqi dari Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " تَهَادَوْا تَحَابُّوا. [رواه البيهقي]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda: Saling memberi hadiahlah di antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi VI: 169, Shahihul Jami’us Shaghir, hadis no: 3004 dan Irwaul Ghalil, 1601, hadis ini hasan).
2.    Hadis riwayat Ahmad dan Thabrabi dari Khalid bin Adi:
وَعَن خَالِدِ بْنِ عَدِيِّ الْجُهَنِيِّ ، رَضِيَ الله عَنْهُ : سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم يَقُولُ : مَنْ بَلَغَهُ مَعْرُوفٌ مِنْ أَخِيهِ مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ ، وَلاَ إِشْرَافٍ فَلْيَقْبَلْهُ ، وَلاَ يَرُدُّهُ ، فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ الله إِلَيْهِ. [رواه أحمد والطبرني وصححه ابن حبان والحاكم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Khalid bin 'Adi, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harapkan dan meminta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya, karena itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya". [HR. Ahmad dan ath-Thabrani, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim]

Persamaan dan Perbedaan antara Wakaf dan Hibah
Beberapa persamaan dan perbedaan antara wakaf dan hibah antara lain adalah:
1.    Dalam wakaf dan hibah terdapat orang yang memberikan hartanya (yang disebut Wakif dan Wahib), barang yang diberikan, dan orang yang menerimanya.
2.    Apabila seseorang yang berwakaf telah mengatakan dengan tegas atau berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada adanya kehendak untuk mewakafkan hartanya atau mengucapkan kata-kata, maka telah terjadi wakaf itu tanpa diperlukan penerimaan (qabul) dari pihak lain. Sedangkan Hibah, selain adanya perkataan dan perbuatan yang tegas dari wahib untuk menyerahkan barangnya (ijab) perlu ada pula penerimaan dari penerima harta yang dihibahkan (qabul).
3.    Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam, sedangkan benda atau harta hibah dapat berupa barang apa saja, baik yang hanya sekali pakai maupun tahan lama. Tidak diperbolehkan mewakafkan ataupun menghibahkan barang yang terlarang untuk diperjual belikan, seperti barang tanggungan (borg), barang haram dan yang sejenisnya.
4.    Benda wakaf hanya boleh diberikan kepada sekelompok orang yang bisa dimanfa’atkan untuk kepentingan orang banyak sedangkan hibah bisa diberikan kepada perorangan ataupun kelompok baik untuk kepentingan orang banyak maupun kepentingan individu.
5.    Barang wakaf tidak bisa menjadi hak milik seseorang sedangkan barang yang dihibahkan bisa menjadi hak milik seseorang.

Syaikh Abdullah Ali Bassam berkata, “Wakaf adalah sedekah yang paling mulia. Allah subhanahu wata’ala menganjurkan nya dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi yang berwakaf, karena sedekah berupa wakaf tetap terus mengalirkan kebaikan dan maslahat. Adapun keutamaannya sebagai berikut;

Pertama; Menebarkan kebaikan kepada pihak yang memperoleh hasil wakaf dan orang yang membutuhkan bantuan, seperti fakir miskin, anak yatim, janda, orang yang tidak punya usaha dan pekerjaan, atau untuk orang yang berjihad di jalan Allah subhanahu wata’ala, untuk para pengajar dan penuntut ilmu, atau untuk pembantu dan untuk pelayanan kemaslahatan umum.

Ke dua; Merupakan amal kebaikan bagi pewakaf, karena dia menyedekah kan harta yang barangnya tetap utuh, tetapi pahalanya mengalir terus, sekali pun pewakaf sudah putus usahanya, karena telah meninggal dunia.

Hukum Wakaf

Wakaf hukumnya sunnah, berdasarkan hadits di atas dan juga hadits berikut ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali 3 perkara; sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang mendo'akannya". (HR.Muslim 3084). Syaikh Ali Bassam berkata, “Yang dimaksud dengan sedekah jariyah dalam hadits ini adalah wakaf.”


Wakaf sudah dianggap berlaku dengan salah satu dari tiga cara berikut ini:
Pertama; Perbuatan, misalnya, seseorang membangun sebuah masjid kemudian dia izinkan orang lain untuk shalat di situ, atau membangun sekolah dan lain sebagainya
. Ke dua; Perkataan, misalnya "aku wakafkan barang ini" atau "aku sedekahkan hasil barang ini" atau ungkapan lain yang semakna
. Ke tiga; Wasiat, misalnya bila aku wafat, maka aku wakafkan rumah ini
. Harta yang diwakafkan sebaiknya tercatat dan diketahui oleh seorang saksi atau lebih, hal ini dilakukan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Landasan tentang hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ketika ibu Sa'ad Bin Ubadah meninggal dunia, dia (Sa'ad) tidak berada di sampingnya, lalu dia datang melapor kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, "Ya Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia, ketika itu saya tidak berada di sisinya. Apakah bermanfaat kepadanya bila saya bersedekah atas namanya?” Jawab beliau, “Ya tentu (bermanfaat).” Lalu Sa'ad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya aku menjadikan engkau sebagai saksi, bahwa pekarangan yang banyak buahnya ini aku sedekahkan (atas nama) ibuku". (HR. al-Bukhari 2551).
 Status Harta Wakaf
 Harta benda yang sudah diwakafkan tidak boleh dihibahkan pada orang lain, tidak boleh diwariskan kepada ahli waris, tidak boleh diperjual belikan, sebab pada hakikatnya harta wakaf itu sudah bukan milik pewakaf lagi dan sudah berpindah tangan dalam soal kepemilikan. Imam Syafi'i berkata, “Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan pewakaf menahan pokok harta yang diwakafkan tersebut dan memanfaat- kan hasilnya, maka itu menunjukkan bahwa harta yang sudah diwakafkan bukan milik pewakaf lagi (al-Umm). Abu Yusuf dan Muhammad berkata, “Harta bila sudah diwakafkan maka tidak lagi menjadi milik pewakaf, tetapi dia hanya berhak menahan pokoknya agar tidak berpindah tangan kepada orang lain. Oleh karena itu, bila pewakafnya meninggal dunia, maka ahli warisnya tidak mewarisi harta wakaf tersebut.” (al-Mabsuth).


Hukum asal harta benda wakaf tidak boleh dicabut kecuali bila tidak dimanfaatkan, atau diabaikan amanatnya, maka boleh mencabut wakafnya untuk dialihkan kepada yang lebih bermanfaat. Syaikh Muhammad Amin berkata, “Seharusnya pewakif tidak mencabut wakafnya, kecuali sebelumnya dia membuat syarat apabila harta wakafnya tidak dimanfaatkan atau merasa diabaikan amanahnya; maka pewakaf boleh mencabut wakafnya.”

double nancy


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas saran dan masukannya.

Daftar Blog Sahabat